Ku perhatikan gerakan tangannya yang halus menggoreskan garis-garis halis di atas bukunya. Ku perhatikan sepertinya aku mengenali karakter yang sedang ia gambar. Itu adalah gambar Naruto, tokoh kartun kesukaan ku, langsung saja ku buka percakapan kembali dengannya dengan rasa penasaranku.
“suka Naruto juga??”
“iya, kamu juga Guh??”
“iya, sebenarnya gue, eh, aku...,” dia tersenyum “awalnya suka dengan soundtrack openingnya, yang judulnya ROCKS itu. Tapi setelah ngikutin kartunnya jadi penasaran dan ketagihan gitu, hehehehehe....”
“oh sama Guh, awalnya aku juga suka soundtracknya, tapi aku suka sama endingnya”
Kartun Naruto, setelah episode ke 15 berganti ending, lalu aku tanyakan ending yang mana yang dia suka.
“ending yang mana?? yang pertama atau kedua??”
“dua-duanya bagus, tapi aku gak tau judulnya,”
“yang pertama itu judulnya Harmonia, kalo yang kedua judulnya Wind. Kamu ngoleksi komiknya juga” dengan lancarnya sekarang aku bisa melafalkan sapaan “aku-kamu”.
“gak juga sih guh, kamu koleksi komiknya juga??”
“iya”
“kapan-kapan aku boleh pinjam ya”
“okay”
agak lama kami mebicarakan tentang Naruto. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu yang aneh dengan suasana kelas. Benar saja, ketika aku mengalihkan pandangan ke sekeliling kelas, guru dan teman-teman sekelasku memperhatikan kami yang sedang mengobrol dengan wajah yang penuh senyum. Dan tak beberapa lama kemudian pecah kembali tawa dan candaan mereka yang diarahkan kepadaku dan Lisa.
“Cie..., makin akrab nih..., hahahahaha...” celetuk Ray, salah satu teman karib Lisa yang duduk di pojok kanan kelas. Untuk kesekian kalinya aku dibuat malu oleh suasana kelas, begitu pun Lisa. Setelah itu, kegiatan kelas dilanjutkan kembali.
“Guh, kamu suka jalan kaki ya...” tanya Lisa yang sekarang membuka percakapan denganku.
“Ha...?? eh iya Lis, kenapa??”
“gak kok, aku cuma sering lihat kamu dari angkot jalan kaki, dan sepertinya kamu menikmati suasana jalanan sampai depan stasiun itu.”
“oh iya, abis emang enakan jalan Lis, lebih adem jalannya dan banyak pohon, jadinya aku menikmati perjalananku itu”
“kayaknya asyik Guh, nanti aku boleh ikut gak??” Ini lah kata-kata yang benar-benar membuatku kaget. Aku sampai terbengong-bengong mendengarnya. Namun kata-kata tadi melekat erat dalam memori dan hatiku. Dan aku benar-benar tak menyangka kata-kata tersebut keluar dari bibirnya yang tipis manis itu.
“Guh, gimana?? boleh gak...??” tanyanya lagi membuyarkan ketercenganganku.
“hmm..., iya boleh, tapi gak apa-apa nih, kamu gak kecapean...??”
“ah gak juga kok...” dan percakapan kami pun berlanjut. Inilah awal kedekatanku dengan Lisa. Tadinya aku pikir Lisa bukanlah cewek yang senang mengobrol. Itu karena diantara 2 teman karibnya yang senang mengobrol memang hanya dia yang lebih pendiam. Tak lama kemudian bel tanda kelas hari itu selesai berbunyi. Aku merapikan dan memasukan buku modul dan catatanku ke dalam tas punggungku yang berwarna hitam bermerk “Westpack” itu. Setelah ku kenakan tasku, ku tanyakan lagi Lisa tentang ajakan dia tadi.
“jadi, jalan kaki bareng ke depan??”
“Jadi Guh, tapi aku sholat dulu”
“oke, aku juga sholat dulu, yaudah nanti yang selesai duluan tungguin di depan musholah ya??”
“oke”
kami pun keluar bareng dari kelas. Tak ketinggalan, candaan dari teman-teman terutama dari Ray dan Nita, sahabat karib Lisa, kembali meledekku. Sesampainya di depan musholah, aku bergegas melepas sepatu warriorku lalu aku berwudhu. Setelah itu, aku keluarkan sarungku. Sarung itu adalah hadiah sunatanku ketika aku masih duduk di kelas 5. sarung itu berwarna dasar hijau dengan garis kotak-kotak berwarna merah. Ketika akan masuk ke musholah bagian laki-laki, aku berpapasan dengan Lisa yang baru selesai wudhu. Parasnya tampak lebih cantik ketikan terkena air. Wajahnya seakan memancarkan sinar yang cerah dan terang. Percikkan air di wajahnya juga membuat wajahnya terlihat lebih anggun. Matanya yang agak sipit ketika tidak memakai kacamata tampak lebih berbinar. Rambutnya yang berponi belah pinggir itu tampak berbeda namun lebih memesona hatiku dibanding ketika ia memakai bando putih tadi. Ia melewatiku sambil tersenyum dan aku membalasnya pulan dengan senyumku
khusyuk aku dalam sholatku. Ku tinggalkan beban tugas sekolahku. Ku tanggalkan keterpesonaanku terhadap lLisa dan ku serahkan semuanya kepada Allah SWT. Selesai sholat, ku baca Quran sakuku yang biasa ku bawa. Ku baca beberapa ayat dan setelah itu aku berdoa dan bergegas keluar musholah. Segera ku pakai sepatuku. Ku perhatikan sekeliling, sepertinya Lisa belum selesai sholatnya. Jadi aku akan menunggunya. Ku keluarkan Sony Ericsson T100-ku dan memainkannya untuk menunggu Lisa turun. Ini adalah Hp pertamaku yang diwariskan oleh orang tuaku kepadaku. Aku memang sering mendapat barang warisan orangtuaku. Tak lama kemudian Lisa turun. Ia mengambil sepatunya dan duduk dekat denganku dan memakai sepatu warriornya yang bermerk “NB” itu. Halus gerakannya mengikat tali sepatunya. Indah simpul yang ia buat menyerupai kupu-kupu.
“yuk...” ajaknya berbarengan dengan ia bangkit dan mengenakan tas selempangan birunya itu. Aku pun langsung memasukan Hp-ku ke dalam tas dan bangkit dari dudukku. Kami berdua pun jalan menuju pintu gerbang LIA Pengadegan. Disana ku lihat Ray dan Nita tampaknya sedang menunggu Lisa.
“Guh, aku bilang ke mereka dulu yah??”
“Oke, aku juga mau beli permen karet dulu, sekalian aja ajak mereka, nanti tunggu di situ aja ya??”
“oke” katanya sambil mempercepat langkahnya menuju Ray dan Nita. Aku sendiri berbelok ke mini market LIA untuk membeli permen karet. Aku terbiasa membeli permen karet untuk mengusir kebosananku ketika aku jalan kaki. Ketika aku selesai membeli, Lisa sudah menungguku di luar bersama Ray dan Nita.
“maaf jadi nunggu...”
“ah gak apa-apa kok” kata Lisa
“eh Ray, Nit, ikut gak??” ajakku
“gak ah, takut ganggu pdkt kalian, hahahaha” kata Nita meledekku lagi
“biasa aja kali...” kataku sambil tersenyum
“jagain si Lisa ya Guh, kalo jatuh lu gendong ya, hahahahaha” kali ini Ray meledek ku
“hahahaha, iya, yaudah duluan ya...??”
“oke...”
aku dan Lisa pun melanjutkan perjalanan kami. Seperti dalam kelas, kami diam selama menit-menit awal perjalanan kami. Aku menawarkan permen karet rasa pepermint kepada Lisa. Dan dia menerimanya. Aku coba buka percakapanku kembali dengan Lisa. Kali ini aku memberanikan menanyakan rumahnya.
“rumah lu dimana Lis??”
“di Tebet Guh”
“kok jalannya ke arah sini, bukannya Tebet kesana ya??” kataku sambil menunjuk ke belakang kami dengan jempolku.
“gak, aku naik kereta, nanti aku turun di stasiun Tebet”
“oh...” Ku perhatikan Lisa tampak lelah dan tersenggal-senggal nafasnya ketika ia berbincang denganku selama perjalanannya bersamaku. Aku memang tipe pejalan cepat. Aku pernah mencoba menghitung kecepatan langkahku. Dan aku mendapatkan bahwa aku sanggup menempuh 4 meter dalam kurun waktu 1 detik. Karena Lisa tampak lelah mengikuti langkahku, aku memperlambat langkahku. Ku perhatikan langkah Lisa yang tampak anggun dan feminim. Bila ku tarik lurus garis selebar 2-3cm di jalan tempat ia melangkah, maka sisi-sisi garis tersebut akan terus bersinggungan lurus dengan sisi dalam sepatu. Di jalan menuju ke arah stasiun Kalibata tersebut ada sebuah kios es kelapa. Aku biasa membeli es kelapa disitu. Selain melepas dahaga, kelapanya menjadi pengganjal perut dan tambahan energiku dalam perjalanan. Aku pun mengajak Lisa untuk beli es kelapa.
“beli es kelapa yuk Lis, kamu mau gak??”
“hmmm....” ia bergumam dan tampak ragu dan ku potong gumamannya.
“aku beliin deh, kamu haus kan?? hehehehehe”
“hmm..., sebenarnya iya, hehehehehe..., oke deh, makasih Guh” lalu kami menuju kios es kelapa tersebut.
“Pak, es kelapanya 2, di plastik” kataku
“Gula putih atau gula merah Dek”
“kamu apa Lis...??”
“Gula putih Guh”
“gula putih dua-duanya Pak” kataku. Selama menunggu es kelapa selesai, aku kembali membuka percakapan dengan Lisa.
“kamu sekolah dimana Lis??”
“aku di Sermabel (SMPN 115), kamu??”
“aku di V-gho (SMPN 150)”
“dimana tuh??”
“di belakang kramat jati”
“oh...” tak berapa lama, es kelapa yang kami pesan selesai dibuat. Ku keluarkan uang lima ribuan untuk membayarnya dan kami meninggalkan kios itu. Es kelapa kali ini tampak lebih manis. Entah apa yang membuatnya terasa lebih manis. Tapi aku menikmatinya. Di sisa perjalanan ke arah Stasiun Kalibata, kami membicarakan tentang beberapa pelajaran favorit di sekolah. Tak ku sangka, ia memiliki mata pelajaran favourit yang sama denganku. Aku dan dia menyukai matematika, fisika dan sejarah. Selain itu, ia menyukai biologi. Sangat menyenangkan bisa mengobrol banyak dengannya. Selama aku berbicara dengan seorang cewek seumuranku pada waktu itu, aku belum pernah berbicara selama dan seintensif itu.
Tak terasa perjalanan kami ke Stasiun Kalibata sudah sampai. Di akhir perjalananku bersamanya pada hari itu Lisa berpamitan.
“Makasih Guh, besok aku boleh ikut lagi ya...??”
“Sama-sama Lis, boleh aja, maaf tadi bikin kamu capek jalan bareng aku”
“oh gak apa-apa, harusnya aku yang minta maaf udah bikin kamu melambat”
“biasa aja Lis”
“Oke, sampai ketemu hari Kamis ya??
“oke, hati-hati di jalan Lis”
“Iya” katanya sambil masuk ke Stasiun Kalibata. Ku lihat ia dari belakang. Rambutnya yang menutupi punggungnya tampak berkilau terkena sinar matahari yang datang dari depannya. Memang rambutnya itulah yang benar-benar memesonaku. Lalu aku lanjutkan perjalanan kakiku menuju Cililitan. Entah apa yang sedang ku rasa. Selama perjalanan hatiku terasa gembira dan bahagia.
to be continued...
Tuesday, 4 August 2015
( Episode III) 5 Tahun Mengenang Kepergiannya, August 20, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment