Kepulauan Seribu -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah Perjalanan
Senin di pagi hari. sebuah situasi yang hampir selalu tidak disukai oleh orang-orang: kembali bekerja, kembali kuliah, kembali beraktivitas untuk kehidupan. namun, semua itu adalah rangkaian siklus yang harus dihadapi dan dihidupi oleh manusia yang hanya berhenti ketika ia menghembuskan napas terakhir. Pagi itu aku bangun seperti biasanya pukul 03.00, ketika orang-orang masih terlelap membaur bersama mimpinya. Di pagi itu, aku mencoba menghadap kepada Yang Maha Kuasa bersama lantunan ayat dan doa. setelah itu, menyantap makanan lebih awal untuk melakukan ibadah sunnah lain di hari itu. Tak terasa Sang Maha Pencipta sudah kembali memanggil umatnya untuk absen melalui sholat wajib di pagi hari. Untungnya aku sudah selesai menyantap makanan sahurku dan bergegaslah aku mengambil air wudhu kembali dan pergi menuju Masjid yang letaknya tak jauh dari rumahku. Kedamaian dunia berbaur dengan nikmatnya udara pagi membuat sholat subuh pagi itu terasa menyegarkan. 10 menit kira-kira aku berada di Masjid itu untuk beribadah, lalu pulang ke rumah. Entah mengapa hari itu rasanya aku malas untuk olahraga pagi. Ku lihat jam dinding masih menunjukkan pukul 4.50. Aku berpikir untuk tidur kembali. Tanpa pikir panjang lagi aku segera menuju tempat tidur, sejurus kemudian aku benar-benar tertidur.
***
"Mas, bangun Mas..., udah jam 6. Kuliah jam berapa hari ini??" Suara lembut ibuku membangunkan tidur pagiku. Ku lihat jam dinding yang terpasang di atas pintu kamarku: jam 6.05.
"Makasih udah dibangunin Bu. Hari ini kuliah pagi."
"Cepat mandi sana. Nanti telat lagi." Sahut ibuku sembari keluar kamarku. Aku bangkit dan berjalan menuju lemari pakaian mengambil celana pendek serta dalaman dan handuk lalu bergegas ke kamar mandi. 10 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan yang bersih dan segar. Ku pilah-pilih baju yang akan ku kenakan hari itu. Ku jatuhkan pilihanku pada kaos Arsenal kesukaanku serta jeans biru. Setelah itu aku merapihkan penampilanku, lalu menyiapkan bahan-bahan kuliah untuk hari itu. Aku pun segera turun ke bawah karena jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 6.25. Sebenarnya jam tersebut kelebihan 15 menit. Sengaja aku percepat agar aku tidak berleha-leha selama bersiap-siap untuk kuliah. Berleha-leha memang adalah sifat manusia yang paling menghancurkan. Apalagi kalau sudah menyangkut dengan waktu. Terlambat sedetik saja, akibatnya bisa berdetik-detik atau bahkan bertahun-tahun ke depannya. Segera aku turun ke bawah. Ku lihat adikku melenggang berangkat ke sekolah menggunakan motor CS1-nya.
"Naik angkot atau kereta??" Tanya ibuku ketika aku sedang memakai sepatu.
"Naik kereta." Jawabku
"Masih punya uang??" Tanya ibuku lagi.
"Masih. Masih cukup untuk seminggu lagi." Jawabku sambil menyelesaikan simpul sepatuku. Aku mendekat ibuku, mencium tangannya, dalam hati aku meminta restu serta doa darinya untuk keselamatanku serta kesuksesanku. Seakan tahu isi hatiku, ia pun berkata:
"Jadi anak yang sholeh ya nak, belajar yang rajin, doa Ibu menyertaimu selalu." Tentram hati ketika ia mengucapkan kata-kata tersebut. Layaknya seorang motivator ulung yang sering muncul di televisi, kata-kata tersebut sangat memotivasi diriku hari itu. Aku memang sudah berjanji kepada ibuku sejak dari aku pertama kali memilih jurusanku untuk kuliah. Aku berjanji kalau aku tidak akan mengecewakan ibuku dengan pilihanku ini. Walaupun beberapa waktu lalu aku sedikit kecewa dengan pilihanku. namun lagi-lagi, kata-kata dari ibuku memotivasiku untuk tidak berputus asa dan mengingatkan kembali akan janjiku di awal kuliah tersebut.
***
"Bismillahi tawakaltu alallah lahawlawalakuata ilabillah" kuucapkan doa keluar rumah agar perjalananku mendapat limpahan rahmat serta ampunan dari Yang Maha Kehendak. Karena yang aku tahu, ketika kita sudah mengucap doa keluar rumah, setiap langkah kaki kanan akan berhadiah rahmat dan langkah kaki kiri berhadiah ampunan dari Yang Maha Adil. Ku berjalan menyusuri jalan lingkungan rumahku diiringi musik dari handphone-ku melalui headset. menyapa beberapa tetangga yang sebnarnya tidak ku kenal dengan baik. Di lingkungan rumahku, aku memang jarang keluar rumah. Aku keluar rumah hanya untuk sekedar sholat di Masjid atau untuk bantu kerja bakti di hari minggu sehingga tidak banyak tetangga yang aku kenal atau sebaliknya. Tapi setidaknya aku telah mengembangkan network yang baik diantara tetangga-tetanggaku. Karena beberapa kali aku sering dimintai bantuan untuk mengajarkan anak-anak mereka belajar karena mereka tahu aku kuliah di UI. Dan sejak saat itu aku baru merasakan manfaat nama besar UI dari segi prestise serta untuk finansialku.
Tibalah aku di depan sebuah pasar tradisional kelurahanku. Hiruk pikuk ramai para ibu dan pedagang terdengar layaknya dedaunan yang saling bergesekan ketika terkena angin menusuk telinga melalui sela-sela headset-ku. Bejejeran angkot antri menunggu penumpang di depannya membuat ruas jalan yang semula memiliki lebar 6 meter menjadi 3-4 meter saja. Aku pun harus berjalan agak ke tengah jalan sedikit karena jejeran angkot ini. Inilah wajah salah satu jalan perjuangan kehidupan di Indonesia. Memanfaatkan ruang untuk orang lain untuk kepentingan diri sendiri. Tak jarang di tempat lain hal ini menimbulkan kemacetan. Tak ayal hal ini membuatku membuat peribahasa sendiri untuk fenomena ini: "Karena angkot semeter, macet jalanan satu kilometer."
***
5 menit sudah perjalananku dari depan rumahku sampai sebuah jalan besar. Dengan sabar aku menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke stasiun kereta terdekat. Entah karena aku yang berdiri agak terlalu menjorok ke arah jalanan atau karena memang praduga supir angkot yang salah, beberapa angkot yang bukan aku tunggu berhenti di depanku. Dengan satu gelengan kepala dariku membuat supir-supir angkot tersebut kembali menginjakkan pedal gasnya. Tak lama kemudian muncul angkutan umum yang sedang aku tunggu. Sebuah minibus putih dengan strip hijau dengan tulisan "KOPAJA" di sisi badannya. Angkutan ini yang akan membawaku ke tempat tujuanku berikutnya sebelum sampai ke kampus. Ku berikan uang dua ribu rupiah yang sudah ku siapkan untuk ongkos perjalanan kepada kenek yang segera mendatangiku ketika aku duduk. Dengan teknik mengemudi yang tinggi, sang supir mengemudikan angkutan itu. Dengan memanfaatkan celah diantara mobil-mobil lain, sang supir mencoba melancarkan laju kendaraannya. Tak jarang klakson tanda komplain dari kendaraan lain yang jalanannya diserobot tiba-tiba ditujukan ke angkutan yang sedang ku tumpangi. Sesekali ia menepi, walaupun masih di tengah jalan, sekedar untuk menaikkan ataupun menurunkan penumpang. Tibalah KOPAJA ini di depan sebuah pertokoan besar di Cililitan untuk mengangkut lebih banyak penumpang. beberapa orang segera naik ke dalam minibus ini. Para pegawai, siswa SMA, mahasiswa sampai nenek-nenek adalah orang-orang yang naik angkutan itu. Aku berdiri untuk memberikan tempat dudukku kepada seorang nenek yang terlihat kepayahan di dalam angkutan itu. Ucapan terima kasihnya cukup menjadikanku sebagai seorang pahlawan sesaat. Angkutan itupun kembali melanjutkan perjalanannya. Hingga pada suatu ruas jalan yang padat menguji keahlian mengemudi seorang supir. Permainan pedal gas, rem dan kopling yang mahir ditunjukkan sang sopir layaknya ia seorang pembalap berpengalaman. Dalam hati diriku bergumam, seandainya sang supir ikut kejuaraan Reli mungkin ia bisa menjadi juara. Karena suara dari headset makin tidak terdengar, ku lepaskan ia dari telingaku. Sesekali ku mendengar bunyi klakson kegemasan dari mobil-mobil atau motor-motor yang terjebak kemacetan. Perpaduan dari ketidaksabaran dan kesempatan membuat beberapa pengendara motor berkreasi diri dengan menggunakan ruas jalan yang berlawanan ataupun trotoar jalan. Seperti yang sudah ku katakan tadi, itulah kehidupan sosialita di Indonesia. Kau harus memanfaatkan segala situasi, ruang serta kesempatan yang ada untuk mencapai tujuanmu. Walau terkadang hal tersebut dapat membahayakan orang lain atau diri sendiri, toh dalam hidup memang harus selalu ada yang dikorbankan.
***
20 menit sudah aku berada di dalam angkutan Koperasi Jakarta tersebut. aku turun di depan stasiun Kalibata. suara khas dari palang pintu kereta menyabutku turun dari angkutan itu. Lagi, aku lihat beberapa pengendara motor dengan sengaja mengambil arah yang berlawanan untuk mencapai tujuan mereka. Aku pun hampir tertabrak oleh salah satu pengendara motor tersebut. Entah karena malu karena kesalahannya atau memang dirinya sedang tergesa-gesa, ia melenggang begitu saja tanpa sepatah kata maaf. Akupun hanya menatapnya dengan tatapan dan senyuman sinis mengikuti pergerakan motornya. Karena tidak ada polisi di daerah itu, dalam hatiku aku hanya melontarkan pertanyaan: dimana polisi ketika begitu banyak pelanggaran lalu lintas seperti ini sering terjadi di daerah tersebut? Apakah mereka hanya akan muncul ketika mereka lapar? Menghentikan kendaraan-kendaraan yang sedang lewat lalu mencari-cari kesalahan dari para pengendara untuk kemudian menilangnya ataupun mengajukan 'perdamaian' untuk kembali mengisi perut mereka. Ya, aku pun tak mau komplain lebih banyak lagi karena menurutku percuma. Memasuki loket stasiun, aku keluarkan uang dua ribuan untuk sebuah tiket kereta ekonomi. Kembalian lima ratus rupiah ku sedekahkan kepada seorang pengemis yang kupikir ia salah satu orang yang sedang memanfaatkan ruang serta kesempatan untuk coba mengais rezeki di sana. Aku mengambil tempat duduk untuk menunggu kedatangan kereta yang akan membawaku ke kampus kebanggaan masyarakat Indonesia. Selang beberapa saat kemudian sebuah kereta ekonomi datang dari arah selatan membawa ratusan orang di dalam dan di atasnya. dari sela-sela jendela ular besi tersebut terlihat wajah-wajah penuh kepasrahan dari para penumpang di dalamnya. Dari raut wajah tersebut seakan menyiratkan doa: Ya Tuhan segera berangkatkan kereta ini. agar aku tidak terlalu lama terjebak di dalam sini. Itulah keadaan di dalam kereta. Aku pun teringat dengan sebuah kalimat dari blog seorang temanku: "Selain di mata Tuhan, manusia akan dianggap sama derajatnya ketika berada di dalam kereta ekonomi." Dalam hati, aku hanya tertawa membenarkan kalimat tersebut. dan kereta itupun kembali melaju, membawa para penumpang yang pasrah tersebut ke stasiun tujuannya. Lalu ku perhatikan wajah-wajah para penumpang serta para calon penumpang yang ada di peron seberang. Pancaran wajah-wajah yang lesu keluar padahal hari itu masih pagi. Wajah-wajah yang menandakan ketidakberdayaan serta ketidakpercayaan kalau mereka harus kembali bekerja. Itulah deritanya orang dewasa, menghabiskan sepertiga perjalanan hidupnya untuk bekerja. Berinvestasi yang bukan untuk dinikmati untuk dirinya semata tapi juga untuk keluarganya. Aku sadari aku pun akan menjadi seperti mereka suatu saat nanti. Bekerja mengumpulkan uang untuk membayarkan sejumlah hutang kepada orang tua, membiayai orang lain yang menjadi istriku, memberi makan anak-anakku dan menginvestasi beberapa untuk kehidupan anak-anakku nanti. Itulah siklus kehidupan, yang akan terus berputar sampai Tuhan menyuruh salah satu malaikatnya meniupkan terompet akhir zaman.
***
Kereta yang akan mengangkutku akhirnya datang juga. Aku masuk dan mengambil tempat berdiri di sisi jauh ular besi tersebut. Aku lihat kembali wajah-wajah lesu orang-orang yang ada di dalam kereta tersebut yang kebanyakan adalah mahasiswa. Wajah-wajah yang tak percaya kalau akhir pekan sudah lewat, wajah-wajah yang belum siap akan kembali bergumul dengan bahan-bahan kuliah yang tebal, kembali bertemu dosen-dosen yang memberikan tugas yang bertubi-tubi padahal masih ada tugas dari dosen lain, kembali mengerjakan soal-soal kuis dengan segudang teori ataupun rumusan atau formula eksperimen, kembali bertemu dengan ruang lab dengan segala bau unik dan khasnya. Mereka mencoba menyembunyikan wajah lesu mereka dengan cara mendengarkan musik melalui headset, sekedar membaca bahan kuliah ataupun novel, bahkan dengan tidur selama perjalanan. Tibalah kereta di pemberhentian pertama, Stasiun Pasar Minggu Baru. Tidak ada penumpang yang naik ataupun turun di gerbong dimana aku berada. dan tak lama kemudian kerta kembali melaju.
"Korannya kompas koran...!! Topskor, Kompas, Temponya dua ribuan...!! Koran...!!"
"Tisu...!! Tisu...!! Tisu...!!!"
"Aqua...!! Frutang...!! Aqua...!! Frutang...!!"
"Lem Korea...!! Lem Korea...!! Lima ribuan...!!"
Sahut menyahut suara para pedagang menjajakan jualannya dengan suara khasnya. Bagiku terdengar seperti sebuah pertunjukan opera, ya opera pedagang di atas kereta. Kembali kereta berhenti di sebuah stasiun, kali ini Stasiun Pasar Minggu Lama. Masuklah beberapa penumpang baru yang kali ini di dominasi oleh beberapa pegawai. Lalu sebuah tangisan pilu namun menyebalkan dari seorang anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan masuk bersama keluarga yang membawanya.
Kereta pun kembali berangkat. selama perjalanan, anak yang menangis itu melanjutkan tangisannya. ia meronta, menjerit, menjambak rambut ayahnya serta menarik kemeja yang sudah dikenakan rapi oleh ayahnya. sang ayah dan sang ibu pun seakan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka lebih memilih diam mengalah untuk memberitahu sang anak kalau mereka tidak akan membelikan mainan yang dimintanya. Aku pun hanya melihatnya dengan tatapan miris. tak tega melihat penderitaan sang ayah, tapi aku juga tak tahan dengan tangisan sang anak. Saking kerasnya tangisan anak tersebut, suara sumbang dua orang pengamen buta sampai tak terdengar olehku. Cepat ku keluarkan uang seribuan dan ku masukkan kedalam bungkus permen yang menjadi tempat untuk bersedekah dan kembali menikmati orkes lagu yang menyayat hati dan pikiran serta adegan "kekerasan dalam kereta" yang dilakukan oleh anak dan ayah tadi. Kereta pun kembali berhenti, kali ini di Stasiun Tanjung Barat. Beberapa pedagang turun untuk kembali menjajakan jualannya di rangkaian gerbong kereta yang lain.
Aku mencoba tidak memperdulikan diriku kepada orkes anak dan ayah tersebut dengan mengalihkan perhatianku keluar gerbong menikmati kendaraan-kendaraan di jalanan melaju. Hingga tak lama kemudian sebuah kecelakaan terjadi di jalan tersebut dan mengalihkan perhatian semua penumpang di dalam gerbong untuk melihat keluar. Karena cepatnya kereta, kejadian tersebut hanya disaksikan oleh orang-orang yang "beruntung", termasuk aku. Namun kejadian tersebut seakan memecahkan suasana beku diantara para penumpang yang tidak saling kenal, setidaknya itu dirasakan olehku.
"Ada apa tadi dik?" Tanya salah seorang bapak yang ada di sebelahku.
"Oh, ada motor nabrak angkot Pak." Jawabku singkat.
"Ah biasa itu mah. Paling-paling angkotnya yang tiba-tiba belok kiri." Kata bapak itu memprediksi. Aku sendiri hanya mengangguk menyetujui perkataan bapak itu. "Turun dimana dik?" tanya bapak itu kembali.
"Di UI." Jawabku singkat. Dan percakapan basa-basi antara aku dan bapak itu dimulai yang akan aku kenang seumur hidupku.
"Anak UI ya?"
"Iya Pak."
"Fakultas apa?"
"Sastra."
"Oh, hebat ya adik ini. Bisa masuk UI..." aku hanya tersenyum sebagai tanda ucapan terima kasih, "Anak saya dulu juga ingin masuk UI. Tapi gagal di SPMB." lanjut bapak itu.
"Oh, terus sekarang anak bapak kuliah atau kerja dimana Pak?" Tanyaku mencoba membangun tali silaturahmi.
"Sekarang sih dia kuliah di Perbanas, ambil manajemen bisnis." Jawabnya.
"Wah Perbanas bagus juga Pak." Kataku.
"Iya, katanya sih lulusan situ gampang dapat kerjaan. Tapi bayarannya juga tinggi Dik." Keluh Bapak itu. kereta berhenti di stasiun Lenteng Agung. "Kalau di UI sekarang bayarannya berapa?" tanya bapak itu melanjutkan.
"Kalau angkatan saya sih waktu itu uang masuknya lima jutaan Pak. Bayaran semesternya satu komaan. Tapi yang angkatan sekarang katanya lebih tinggi Pak. Gak tahu kisarannya berapa." jawabku sekenanya. kereta kembali berangkat.
"Oh...,” lama bapak itu berhenti sebelum melanjutkan pembicaraannya ”Pendidikan sekarang mahal ya Dik? Gak cuma pendidikan tapi hampir semua naik. Bensin, sayur, tol sampai listrik juga ikut naik. Dulu zaman saya Dik, yang namanya sekolah, bayarannya paling cuma lima ratus atau seribu perak. Sekarang berjuta-juta. Heran sama yang di dewan sana. Katanya mau memajukan bangsa, tapi malah bikin susah bangsa sendiri. Capek-capek kita pilih, tahu-tahunya gak ada pengaruhnya." Keluh bapak itu. Aku pun hanya tersenyum. Inilah suara seorang rakyat yang merasa tertindas oleh kebijakan penguasanya sendiri. Ironisnya penguasa tersebut adalah penguasa yang ia pilih dan percayakan dapat memajukan bangsa. Aku sendiri pun sebenarnya juga kecewa dengan penguasa itu.
"Tapi dik, kadang-kadang mahasiswa bikin kesal juga ya?" sahut bapak itu mengagetkanku dan membuatku penasaran. "Saya sih sebagai rakyat juga senang dibela. Tapi kalo keseringan dan caranya anarkis, saya malah tidak simpati dengan aksi mereka. Kalo begitu caranya, itu mah bukannya bantuin rakyat, tapi malah nyusahin rakyat." Perkataan bapak ini seakan menampar wajahku dengan sangat telak. Beberapa kali aku memang diajak aksi oleh teman-teman mahasiswaku. Sesekali aku ikut, namun keseringan aku menolak ajakan tersebut. Bukannya malas atau tidak suka ikut aksi, tapi aku sudah terlalu jenuh dengan permasalahan bangsa ini yang seakan sudah diskenariokan sedemikian rupa oleh orang-orang yang memiliki kepentingan. Belum selesai suatu masalah, muncul masalah baru yang lain sehingga menguapkan masalah yang lama. Karena aku jarang ikut aksi, aku bahkan pernah dicap sebagai mahasiswa yang tidak pro rakyat oleh salah seorang teman. Aku pun sebenarnya mempertanyakan apa yang ia maksud dengan pro rakyat seperti yang diungkapkan olehnya. Apakah yang dimaksud dengan pro rakyat membuat jalanan macet berkilo-kilometer menghambat orang bekerja? Apakah yang dimaksud dengan pro rakyat merusak fasilitas umum dan membuat pemerintah kembali mengeluarkan dana untuk perbaikan fasilitas tersebut? Kadang aku berpikir, mahasiswa yang turun ke jalan ibarat sekelompok anak kecil yang merasa dicurangi oleh orang yang lebih tua dalam sebuah permainan. Seberapa banyak keluhan serta protes yang dilancarkan tidak membuat orang yang lebih tua mengalah. Sekarang kereta berhenti di Stasiun Universitas Pancasila.
"Kalo mau bantu rakyat ada alternatif yang lebih saya senangi." Kata bapak itu.
"Apa itu Pak?" Tanyaku. Kereta pun kembali melaju.
"Belajar yang rajin. Serap ilmu yang berguna serta baik yang diberikan oleh dosen atau orang lain dengan baik dan benar. Setelah lulus, baru gunakan ilmu tadi dengan baik dan benar pula. Gunakan untuk memajukan bangsa. Misal, bikin penemuan apa yang dapat membantu rakyat atau kalau bisa dengan ilmu tersebut kamu pimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik." Jawab bapak itu. terdengar biasa memang nasihat dari bapak itu. Tapi bagiku itu juga merupakan sebuah ironi. Ketika rakyat dibela oleh mahasiswa, namun hati mereka sendiri menjerit karena aksi mahasiswa tersebut. Aku pun berpikir kalau perkataan bapak ini ada benarnya. Aku sendiri tidak ingin menyalahkan aksi yang silakukan oleh teman-temanku itu. Tapi hanya dengan berorasi, mahasiswa tidak akan mampu mengubah nasib rakyat. Hanya dengan melakukan long march, mahasiswa tidak akan membantu meringankan beban rakyat. Dengan ilmu dari dosen atau orang lain lah yang kita aplikasikan dengan baik dan benar yang mampu memajukan bangsa.
Tak terasa kereta yang aku naiki itu tiba di Stasiun Universitas Indonesia. Aku pun pamit kepada bapak itu serta mengucapkan terima kasih atas nasihat serta motivasi yang ia berikan padaku dalam perjalanan di dalam kereta tadi. Sebuah perjalanan yang mengajarkanku begitu banyak hal. mulai dari bagaimana menjalani kehidupan sehari, mengurus keluarga, sampai bagaimana membuat bangsa ini maju. Terima kasih ku panjatkan kepada Tuhan yang telah mempertemukanku dengan orang-orang hebat yang berharga dan mengajariku selama perjalanan tadi. supir angkot yang pandai memanfaatkan celah, wajah-wajah para pegawai yang mengajarkanku bagaimana rasanya menjadi orang dewasa, seorang ayah yang mengajarkanku tentang arti sebuah keluarga dan kepada seorang bapak yang mengajarkan padaku bagaimana seharusnya seorang mahasiswa. Sebuah perjalanan yang akan selalu ku kenang dan ku tanamkan dalam pikiranku.by Teguh Riyanto
Tuesday, 4 August 2015
SeBuah PerJalanan,,,,,,,,
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment